Mungkin saja judul di atas bagus untuk nama band yang sedang teman-teman rencanakan. Atau bagus sebagai title design untuk rancangan arsitektural maupun interior hunian minimalis standar tropis dengan pendekatan ilmu fengsui-cina yang digabung dengan ilmu petakbumi(fengsuinya jawa). Atau mungkin juga menarik untuk sebuah tajuk pameran besar kelompok seniman muda, seniman etnis, atau setara festival-award. Atau mungkin juga lumayan bagus untuk sebuah judul novel yang sedang akan ditulis.
Aku sendiri membubuhkannya di salahsatu karyaku.
Gambaran sebuah cerita fiksi tentang perasaan memiliki yang berujung pada cinta, nafsu, dan kehilangan yang dimiliki beberapa tokoh kayalan dalam panel-panel gambarku di atas seng sari.
Tokoh utama namanya Slamet, sosok mahkluk berbadan manusia berkepala burung yang sebelumnya telah lama tinggal dan tentram dengan kehidupannya. Di hutan belantara hijau. Hingga pada paruh usianya dia bertemu dengan kepentingan yang sebelumnya belum pernah ia temui. Kepentingan mahkluk asing-baru untuk berbagi hidup di kehidupan Slamet. Namun seperti halnya Slamet yang hidup bersama koloninya mahkluk baru tersebut-pun juga memiliki koloninya.
Slamet pada dasarnya baik dan jujur. Cerita berlanjud bersama percobaan awal slamet menerima penawaran tersebut. Mereka diterima untuk bertahan hidup (sematara-dalam waktu yang tidak ditentukan) di tengah kehidupan koloni slamet. Istilah aturan hukumnya adalah ngindung.
Sambil berlalu, Slamet menyelami model kehidupan asing mahkluk baru itu. Sesuatu yang baru selalu menarik perhatian Slamet, apalagi perihal ilmu kehidupan-cara bertahan hidup. Meski ia tidak tahu istilah akan ilmu sejarah dan ilmu antropologinya manusia, namun cara mengamatinya tidak jauh dari dua pola tersebut. Secara, dia adalah pemuda yang memiliki garis keturunan terpandang di koloninya. Dimana dia juga memiliki bibit pendekar silat lidah yang dipercaya oleh mahkluk-mahkluk sejenisnya.
Lebih terangnya seperti demikian, memahami sejarahnya adalah untuk mengenal lebih jauh tentang identitas dan memahami pola penghidupan sehari-harinya adalah untuk memahami lebih jauh persoalan kepentingan. Bukankah hal tersebut tidak jauh dari prilaku penguasaan serta penundukan? Kenyatannya di lapangan, Slamet sendiri kurang tangkas membaca laju percepatan mahkluk tersebut. Ketidak berdayaan Slamet hanya menyisakan usaha pengamatan terus menerus tanpa ada kesempatan untuk sebuah penundukan.
No comments:
Post a Comment