Monday, April 5, 2010

ROOM SHIT HOME / MAIN KAYU

Desember – Maret 2010

ROOM SHIT HOME / MAIN KAYU; Adalah proyek senirupa-ku sendiri.

Ini juga bagian dari penggalan penjelajahanku mengenai penggambaran tentang diriku berinteraksi dengan masyarakat di sekelilingku.

Di luar dan di dalam rumah.

Tentang diriku melihat diriku lewat orang lain.

Pengantar pertama tentang menggagas istilah yang mengkonotasikan prilaku manusia.

“Main Kayu”

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV 2008 (halaman 858), “Main kayu” diartikan sebagai: berbuat yang keji-keji, berbuat mesum, berbuat curang, main keras yang menjurus menyakiti lawan, main kasar. Ketika kepada beberapa orang diajukan pertanyaan: “kalau kamu mendengar kata MAIN KAYU, apa yang pertama kali langsung terlintas dalam benakmu?”, ternyata jawabannya beraneka ragam. Seorang dosen sastra Indonesia, ketika mendapat pertanyaan itu menambahkan arti; “abai terhadap aturan main”, terhadap arti yang telah tertera di dalam KBBI edisi IV itu. Seorang teman di Kalimantan Tengah, lewat SMS, menjawab spontan: “Pembalakan Liar !!”. Seorang teman lain, pegawai swasta di Jakarta menjawab: “Main kayu itu curang, karena yang lain tangan kosong semua”. Salah seorang fotografer wanita Indonesia lain lagi: “Main kayu ya, bisnis kayu. Baik legal maupun ilegal”, temannya, aktivis sosial keagamaan menjawab: “Kekerasan”. Sorang mahasiswa Fisip asli Jogja yang bersahaja memberikan komentar: “Ndenger kata itu saja sudah sangat keras bagi sa…Main kayu, jibaku, dan lain-lain…sejajar itu. Sudah lama sa tidak mendengarnya”. Dan yang terakhir, seorang seniman pantomime Kota Pelajar menjawab lugas: “Kalau saya, langsung ingat permainan Benthik”.

Kepada bapak dosen sastra itu saya ajukan lagi pertanyaan: “Abai terhadap aturan main? Kalau istilah Jawa-nya ngodo, begitukah? Berarti, termasuk juga memaksakan kehendak atau merasa harus di patuhi?” dan jawaban beliau sungguh melegakan (dengan istilah Jawa semua): “Kodo, ngodor, mburok, srogal-srogol, gonyak-ganyuk nglelingsemi, mbreguguk nguthowaton, waton suloyo, bandha nekad, lan sak piturute”. Saya masih belum terima, karena itu terpaksa saya ajukan lagi pertanyaan: “Jadi tidak ada arti positifnya sama sekali dalam idiom itu?” Sekali lagi jawabannya tegas: “Tidak ada!!” Baiklah, dengan agak kecewa saya menyerah. Rupanya masyarakat secara umum telah sepakat bahwa idiom “main kayu” sama sekali tidak memiliki pengertian yang positif di dalamnya, meski hanya secuil saja. Kenapa saya harus kecewa? Karena teman saya menggunakan idiom yang sama sekali tidak mengandung arti positif itu sebagai judul pamerannya…

*****

Sebagai sesuatu yang eksistensinya dijamin secara alamiah, kayu memang fenomenal. Konon, seiring dengan perkembangan volume otak manusia kayu adalah unsur penting, selain batu, yang ikut berperan aktif dalam perjalanan evolusi ras manusia dari hominid hingga homo sapiens di tengah kancah Bumi. Kita bisa membayangkan bagaimana kreativitas manusia prasejarah dalam mengkombinasikan mata tombak dan kapak batu dengan tangkai kayu. Dengan upaya kreatif awal itu mereka dapat berburu dengan lebih efektif untuk memenuhi kebutuhan protein mereka. Kenapa itu penting? Karena protein adalah unsur utama yang membentuk otak. Dengan asupan protein yang cukup akibat meningkatnya kemampuan berburu, membawa dampak pada generasi hominid selanjutnya yaitu, pembesaran volume otak. Dalam hal ini, tak terpungkiri bahwa kayu berperan penting.

Intinya, sudah sejak awal mula dalam perjalanan sejarahnya manusia tak terpisahkan dari kayu. Pakaian awal manusia, konon kabarnya, dari kulit kayu. Senjata untuk berburu dan bertahan hidup melibatkan unsur kayu. Perkakas rumah tangga dipenuhi kayu, bahkan bumbu-bumbu setelah kita mengenal “cita rasa” ada yang namanya; kayu manis. Tempat tinggal manusia setelah punya rasa malu berlama-lama tinggal di gua, hampir selalu terbuat dari kayu. Roda, yang setelah ditemukan memicu “revolusi moda tranportasi darat di jaman kuno”, pada awalnya juga dari kayu. Kapal, yang digunakan untuk penjelajahan samudra, untuk berdagang dan menaklukkan, hanya mungkin tercipta karena adanya kayu. Dan jangan pernah melupakan salah satu unsur paling penting dalam peradaban kita; kertas. Seiring dengan semakin kompleksnya kehidupan manusia, peran kayu nempaknya juga semakin massif. Tidak hanya pada tingkatan kebutuhan-kebutuhan teknis dalam kehidupan manusia, tetapi juga menelusup dalam kebutuhan yang sifatnya lebih merupakan simbol dan identitas, juga status sosial.

*****

Dalam banyak peristiwa sejarah yang besar dan penting keterlibatan kayu sebagai simbol-simbol vital begitu menonjol. Baik sebagai simbol hukuman yang paling hina maupun sebagai simbol penghargaan tertinggi. Eropa Abad Tengah adalah salah satu periode pemanfaatan kayu secara maksimal oleh otoritas religious untuk mengganjar “musuh-musuh” mereka dengan hukuman yang mengerikan. Jean of Arc adalah salah satu yang menikmatinya. Konon ada ribuan orang yang mengalami nasib serupa. Saya membayangkan, tentunya tidak gampang untuk menghitung berapa ribu kubik kayu yang dibutuhkan untuk membuat “api unggun pembakar manusia” pada masa itu. The Wood of Cross di mana tergantung Yesus dari Nazaret, leluhur imannya Joan of Arc, telah menjadi salah satu simbol paling kuat dalam sejarah. Kayu salib, simbol hukuman yang paling kejam dan hina, ditranformasi menjadi simbol keselamatan dan cinta Tuhan oleh kecanggihan perangkat teologi agama Nasrani.

Sampai sekarang di beberpa tempat di Nusantara status sosial ditentukan, salah satunya, dengan malihat dari apa rumahnya dibuat. Rumah gaya Limasan dengan Gebyog kayu Jati, adalalah salah satu jaminan status sosial yang tinggi di Jawa. Rumah bangsawan, kepala suku, atau tokoh masyarakat di Kalimantan hampir pasti melibatkan kayu Ulin. Kayu Timoho dan Cendana menentukan derajat Keris dan status pemiliknya. Gaharu, dalam beberapa kebudayaan, tidak hanya ditempatkan sebagai jenis kayu yang paling prestisius secara komersial, tetapi juga terhormat dan mistis. Di Kalimantan ada jenis kayu yang berkhasiat menyerap racun. Hanya orang yang sangat beruntung dan dukun atau tetua adat suku Dayak yang memilikinya. Dalam cerita silat Cina kita mengenal ada sebuah partai di dunia persilatan yang bernama Kai Pang atau Pertai Pengemis. Simbol kekuasaan tertinggi dari Kai Pang adalah sebuah tongkat kayu yang bernama Tongkat Pemukul Anjing. Tongkat itu diwariskan dari satu generasi ke generasi kepemimpinan baru dalam tubuh partai itoe. Terakhir soal kayu dan status sosial; jangan buru-buru percaya kalau dikatakan bahwa Yesus berasal dari keluarga yang miskin, hanya karena tertulis bahwa dia berasal dari keluarga tukang kayu. Ada versi sosiologis-antropologis yang mengatakan bahwa profesi itu di Palestina pada masa Yesus adalah profesi kelas menengah…

****

Jadi, nampaknya sebagai sesuatu yang otonom hampir tidak ada pengertian yang negatif dalam kata “kayu”. Namun ketika dijadikan idiom atau kata majemuk dengan ditambahkan kata “main”, pengertiannya menjadi total negatif. Dalam khasanah bahasa Jawa, padanan kata “kayu” adalah “kajeng”. Kata “kajeng” sendiri kurang lebih berarti kemauan, tekad atau niat. Bukan pula sesuatu yang negatif. Semua menjadi bermasalah ketika ditambahkan kata “main”. Kata itu sendiri pengertiaannya memang bias. Dari beberapa pengertian yang tertera di KBBI salah satu arti yang nampaknya berpotensi membawa kekacauan adalah ini: berbuat sesuatu dengan sesuka hati atau asal berbuat saja (dengan serampangan). Tentu bisa dibayangkan bagaimana seandainya seseorang atau serombongan orang berjalan di keramaian sambil memegang balok kayu, sedangkan niatnya adalah berbuat sesuka hati dengan balok kayu yang dipegangnya. Barangkali bisa terjadi keributan.

Bagaimana seandainya yang dipegang oleh seseorang atau serombongan orang, yang niatnya mau berbuat sesuka hati dan mengabaikan aturan main itu bukan sekedar balok kayu?? Katakanlah…kekwasaan, misalnya. Di tengah hiruk pikuk sejarah politik dan sosial kontemporer Indonesia Raya, barangkali itulah yang dipikirkan oleh teman saya yang melakukan pameran ini… Barangkali pemerannya ini sekedar sebuah clekopan yang datangnya dari halaman “paling” belakang sebuah buku yang berjudul “Republik Indonesia”, atau sebuah buku yang berjudul “Kesejahteraan”. Tapi clekopan ini bisa berarti provokasi, karena yang ada di halaman paling belakang dari buku-buku itu jumlahnya banyak sekali….”Ayo main kayu !!!…Yang tidak siap kalah dilarang masuk !!!”….

Yogyakarta

Main Kayu

Danto Jogonalan.

No comments:

Post a Comment